Kali
ini aku akan melakukan pemotretan terakhir foto untuk Malam Final Puteri
Indonesia 1 bulan lagi, dengan tema “Pesona Keindahan Indonesia”. Mendengar
tema itu, yang ada di benak setiap orang
pastilah Pulau Dewata, tapi tidak untukku. Karena aku wakil dari Provinsi Jawa
Tengah, aku mengusulkan pada pihak management untuk mengambil gambarku di
sebuah pantai terindah yang pernah kukunjungi. Pantai yang jarang tersorot
kamera publik. Perjuangan untukku! Karena daerahnya begitu terpencil,
perjalanan panjang harus kutempuh. Pesawat yang kunaiki dari Jakarta tidak
menjangkau daerah ini. Aku tiba di Solo disambut teriknya mentari dan angin
sepoi-sepoi. Aku tahu akan seperti apa perjalanan selanjutnya, empat jam
perjalanan darat didepan mataku . Maka aku memutuskan untuk pergi ke Rumah
Sakit terdekat, untuk mengecek keadaanku, karena kondisi badanku memang tak
cukup kuat untuk menempuh perjalanan jauh. Akan sangat merugikan jika sampai
disana aku tidak sehat.
“Bruuuuuuukkkk…..” aku menabrak
seseorang di koridor Rumah Sakit karena aku terburu-buru hendak ke mobil. Hari
semakin siang.
Aku segera minta maaf pada orang itu
dan pergi. Sekilas aku masih melihat senyumnya. Lembut sekali!
***
Kembali
mengunjungi desa. Anganku berputar saat 10 tahun yang lalu aku berkunjung
kemari, Wonogiri. Bahkan aku dulu tak yakin apakah itu masih wilayah Indonesia
atau bukan. Sekalipun aku tak pernah mendengarnya. Bahkan sepertinya aku tak
pernah melihat tulisan ‘Wonogiri’ di peta. Aku sangat marah pada orang
tuaku saat itu. Mengapa Ibuku ingin
pulang kampung mengunjungi nenek ? Bukankanh hidup di kota lebih enak ? Dan
mengapa ayahku malah menyetujuinya ? Padahal mereka sudah tahu bahwa aku benci
desa! Aku benci !
Tak kubayangkan sebelumnya masa
kelas IX SMP ku harus kuhabiskan di kota tak dikenal ini. Ah …. Bahkan ini
bukan kota, hanya Kabupaten kecil yang entah diketahui atau tidak. Yang membuat
bibirku lebih manyun adalah dimana aku tinggal. Bukan di pusat Wonogiri! tetapi
Kecamatan Wuryantoro! Nama apa itu ? aku tak tahu! Kampungan menurutku. Bahkan
untuk mengucap nama desanya pun terasa aneh dilidahku, desa Pulutan Wetan
Kelurahan Tiken. Mau apalagi? Inilah tempat kelahiran Ibuku. Suka atau tidak, mau atau tidak, harus
kujalani.
Bersyukurlah aku, setidaknya
diantara kerumunan orang dewasa yang datang kerumah nenekku aku melihat gadis
seusiaku. Gadis itu sangat mirip denganku. Ia tersenyum padaku saat itu. Tapi
menurutku itu sangat sok kenal! Ia mendekatiku dan memperkenalkan dirinya
singkat tapi ramah. Ternyata ia adalah anak dari rekan Ibuku dulu. Ia
mengajakku berjalan-jalan disekitar rumah nenekku. Setidaknya ini bisa menjadi
hiburan untukku daripada harus menunjukan senyum palsuku didepan tamu-tamu
nenekku. Gadis itu mengajakku ke sebuah
bukit. Bukit yang hijau dan dikelilingi sawah. Hal yang baru pertama kali
kulihat. Tak bisa kupungkiri, ini pemandangan yang indah. Mataku tak berkedip
untuk beberapa detik.
“ Cantika Puteri Adams! Nama kamu
indah ya!” ucapnya dengan senyum. Ya….. itulah tanggapan orang-orang saat
mendengar namaku. Dan aku selalu mengenalkan diri dengan nama lengkapku, agar
semua orang tahu nama indahku itu.“ Sudah pasti! Puteri Cantik keluarga Adams,
itulah arti namaku!” jawabku sombong “ nama panjang mu siapa ? Sifa ? apa hanya
itu ?” tanyaku angkuh.
Ia tersenyum dan menggeleng. “Rasifa
Bintang” jawabnya singkat. Aku mengerutkan dahi. Mungkin dia tahu maksud
ekspresiku. “ ayahku pernah bilang jika namaku adalah pengharapan. Aku tak tahu
apa arti khususnya, tapi yang jelas orangtuaku ingin aku selalu seperti rasi
bintang indah yang menerangi hidup orang-orang yang menyayangiku, terutama
orang tuaku, Fira dan Aryo” jawbannya
membuatku kembali mengernyitkan dahi. Ah! Kata ‘Fa’ dibelakang namanya untuk
inisal kedua orangtuanya rupanya. Aku berfikir nama ku paling indah. Ternyata ?
TIdak! Nama Sifa jauh lebih bagus dan…. Em bermakna. Aku sedikit kesal dengan
jawabannya, begitu meyakinkan! Pandai bicara!
Aku belum memulai pembicaraan
kembali setelah itu, hanya suara padi yang bergoyang tertiup angin dan
burung-burung di sore hari yang terdengar. Sampai telingaku terusik saat
mendengar suara yang begitu menyejukan hati, lembut dan merdu. Aku menoleh,
ternyata Sifa sedang bersenandung ! Ah ….. apalagi yang akan ditunjukan anak
ini yang akan membuatku iri ?
“Suaramu bagus fa!” aku memujinya,
sedikit tak ikhlas untuk mengeluarkan pujian itu. Sifa hanya tersenyum dan
berterimakasih. Semakin membuatku iri.“Suatu saat nanti aku ingin menjadi
seorang penyanyi!” ucapnya memcah kejengkelanku. Begitu tulus!
***
Awalnya, aku begitu membenci Sifa.
Aku selalu terlihat bodoh dihadapannya, dia seperti pemilik dunia ini dan aku
hanyalah penontonnya. Padahal aku jauh lebih pandai darinya, aku jauh lebih
cantik darinya, dan hidupku jauh lebih berkecukupan darinya. Tapi dia selalu
membuatku iri dengan caranya sendiri.
Sudah enam bulan kujalani masa SMP
ku di desa terpencil nan indah ini. Aku
sudah bisa menerima semua ini, bahkan kini tak sedikitpun aku iri dengan Sifa. Kini,
Cantika Puteri Adams beda dengan pribadinya yang dulu. Tak ada lagi Cantika
yang angkuh, sombong, iri, dank eras kepala. Tak ada lagi Cantika yang merasa
dunia ada dalam genggaman tangannya. Aku bersahabat baik dengan Sifa. Setiap
hari Sifa dengan tulus menawarkan persahabatan yang penuh kasih sayang
denganku, ia mengajariku beradaptasi dengan lingkungan desa hingga kini aku
menyayangi desa ini, Pulutan Wetan.
Aku sering main ke rumah Sifa, tak
jarang aku menginap di rumahnya. Aku tahu apa yang ia lakukan dari bangun tidur
hingga tidur lagi. Ia dididik begitu baik. Kini aku sangat mengaguminya. Sifa
sangat disiplin saat membantu orang tua. Pagi-pagi ia sudah bangun untuk
beribadah dan kemudian membantu Ibunya, setelah itu ia membersihkan rumah dan
berangkat sekolah. Di sekolah, Sifa tak pernah membuang waktunya sia-sia. Waktu
istirahat ia habiskan untuk membantu bibinya yang kebetulan penjaga kantin.
Sepulang sekolah, terkadang ia membantu ayahnya berdagang buah di Pasar.
Setelah itu ia pulang untuk membantu Ibunya, waktu bermain ia dapat sembari
bekerja. Aku salut dengan pola hidupnya! Tapi sayang, Sifa tak suka belajar.
Semua mata pelajaran eksakta itu hanya membuatnya mengerutkan dahi dan berpikir
keras tiada hasil. Sungguh suatu hal yang merugikan! Yang kutahu, ia hanya
menyukai pelajaran seni. Karena menurutnya, hanya itulah bekal untuk meraih
cita-citanya, menjadi penyanyi. Tidak bagiku! Semua pelajaran bagiku saling
berkaitan dan penting.
***
Saat aku dan sifa pulang sekolah,
Sifa seperti kebingungan. Ia berlari dari rumahnya kerumah nenekku
tergopoh-gopoh. “Apa Ibuku ada disini Tika ?” tanyanya khawatir, aku menggeleng
dan segera memastikan ada apa sebenarnya. Ternyata Tante Fira tidak ada
dirumah. Hal yang aneh memang, karena Tante Fira selalu ada dirumah saat Sifa
pulang. “Ibumu ning Rumah Sakit cah ayu”
tiba-tiba nenekku muncul dari balik pintu dan berucap, tentu dengan bahasa
Jawa. Aku dan Sifa kaget, bahkan air mata bening itu telah menganak di pipi
Sifa, tentu ia takut terjadi sesuatu dengan Ibunya. “Rumah Sakit ? wonten punapa Ibu tindak dateng Rumah Sakit eyang ?
sinten ingkang gerah ?” ucapnya. Berita duka yang datang seperti angin
topan yang memporak-porandakan hati Sifa. Ibunya tertabrak mobil saat hendak
menyebarang jalan dari pasar. Sifa tak kuasa membendung tangisnya yang kian
membuncah. Detik itu juga kami berangkat ke Rumah Sakit di pusat kota Wonogiri.
Saat kami tiba di Rumah sakit, Sifa
langsung lari mendekap ayahnya erat-erat. Tak pernah ia sangka kejadian ini
akan terjadi. Air mataku pun menetes tanpa ijin melihat sahabatku ditimpa
kesedihan. Beberapa waktu kemudian, dokter keluar. Dokter operasi di Rumah
sakit itu menyarankan agar Tante Fira dibawa
ke rumah sakit di Solo, karena alat medis di Wonogiri belum memadai untuk
melakukan operasi mengingat keadaan tante Fira sangat parah. Tapi Om Aryo tak
menyetujuinya, aku tahu alasannya, pasti karena biaya. Bekerja sebagai pedagang
buah belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, apalagi untuk membayar
administrasi operasi yang memakan biaya puluhan juta. Mungkin saat itu perasaan
Sifa sangat hancur, ia tak bisa berbuat apa-apa disaat orang yang amat
dicintainya sangat membutuhkan bantuan. Ia menangis dan memanggil-manggil nama
ibunya histeris, sampai akhirnya ia pingsan berbalut kesedihannya.
Keluargakupun tak tega dengan semua ini, bagaimanapun juga keluarga Sifa sudah
kami anggap seperti keluarga sendiri. Nenekku berniat meminjamkan uang untuk
biaya operasi tante Fira. Dengan paksaan nenekku akhirnya Tante Fira dibawa ke
Rumah Sakit di Solo malam itu juga.
***
Sudah berjam-jam kami mondar-mandir
di depan ruang operasi. Panik! Khawatir! Sedih! Hanya tangis yang bisa
diungkapkan. Sedangkan Sifa, aku tak tahu mengapa ia bisa pingsan begitu lama.
Mungkin ini begitu berat baginya. Akhirnya, suara pintu ruang operasi yang
terbuka mememcah perhatian. Dokter keluar dari ruang operasi. Kami menatapnya
penuh harap. Sayang dokter itu menggeleng pasrah. Mengapa ?...” Ibu Fira telah
berada di sisi-Nya” ucapnya diiringi linangan air mata kami. Innalililahi wa’inailaihi roji’un. Oh
Tuhan … Mengapa engkau mengambil Tante Fira secepat ini ?
Aku tak sanggup menatap bagaimana raut
kesedihan Om Aryo, apalagi ekspresi Sifa nanti saat mengetahui berita duka yang
sama sekali tak ia harapkan ini. “Ibu…….ibu….” lirih Sifa saat ia tersadar,
kami menolehnya. “Ibu dimana ayah ? Ibu sembuh kan ? Ibu ….” Pertanyaan-pertanyaan
Sifa yang memberondong itu dihentikan ayahnya, Om Aryo memeluknya erat. “Ibu
sudah pergi ke Surga sayang ! Ibu sudah bahagia di sisi Allah!” tenang Om Aryo.
Hanya tangis pilu yang Sifa tunjukan, bahkan untuk mengucap sepenggal kalimat pun
terlihat sulit baginya. Tangis rintihan sorang anak yang belum bisa merelakan
kepergian ibunya. Hal yang wajar!
***
Setelah jasad ibunya disemayamkan.
Aku menemani Sifa berada di makam Ibunya sejenak. Ia menatap sayu batu nisan
Ibunya. Aku tak menyangka Sifa bisa setegar ini sekarang, tidak seperti
kemarin. Ia sedikitpun tak menangis. Mungkin ia tahu tangisan akan membuat ibunya
tak tenang di surga.
“Ibu…….. Sifa tidak ingin jadi
penyanyi lagi!” satu kalimat yang membuatku tercengang. “Sifa ingin jadi
dokter!” kata Sifa penuh tekat. Untuk kedua kalinya aku terkaget. Sifa akan menanggalkan
impiannya? Menjadi dokter! Apa ini ? Aku bingung. Bahkan Sifa tidak suka
belajar, Ilmu pasti adalah hal yang paling ia benci. Bagaimana ia bisa menjadi
seorang dokter jika belajarpun ia tak suka ? Pertanyaan-pertanyaan itu kian
menghujan pikiranku.
Aku memutuskan untuk tidak bertanya pada Sifa
sekarang, aku tidak mau mengganggunya mencurahkan isi hatinya kepada ibunya. “
Sifa ingin jadi dokter tanpa pamrih. Dokter yang akan berjuang demi keselamatan
pasiennya, agar tiada tangisan seperti yang Sifa alami kemarin bu…. Sifa
ingin….” Kali ini Sifa menitihkan air mata, mungkin butiran air mata itu ingin
menitih di tanah tempat jasad ibunya kini berada untuk menemani jasad yang
telah terbujur kaku itu. Dan aku telah tahu alasan Sifa tak lagi ingin menjadi
sorang penyanyi. “ Sifa tahu, biaya untuk mrnjadi seorang dokter memang mahal,
tapi Sifa akan menabung mulai dari sekarang, Sifa akan berusaha meraih cita itu
dari sekarang…. Sifa akan berubah, Sifa janji bu. Sifa akan membuktikan tekat
Sifa bu! Menjadi seorang dokter. Dokter Rasifa Bintang !” Aku tak tahu mengapa
kini aku ikut menangis. Ungkapan Sifa itu mampu menggetarkan nuraniku,
ucapannya selalu terlihat tulus. “Sifa yakin Ibu selalu mendoakan apa yang
terbaik untuk Sifa di surga sana, Sifa sayang Ibu.. Ibu selalu di hati Sifa.
Selalu!” tutupnya dengan senyum.
***
Sejak hari itu, aku merasakan banyak
perubahan di diri Sifa. Sifa yang dulu riang kini lebih pendiam, ia seperti
menghemat kata-katanya untuk berfikir dan terus berfikir. Sifa yang dulu tidak
suka belajar ilmu pasti, kini sangat berantusias untuk mempelajarinya. Sedikit
terlambat memang, tapi tidak ada kata terlambat dalam belajar. Better late than
never! Sifa kini selalu menyimak penjelasan Bapak Ibu guru dengan serius,
mencatat semua materi yang penting, bertanya bila tidak tahu, dan mengajakku
belajar kelompok bersama. Nilai Sifa bahkan kadang melampauiku. Aku tidak iri.
Akan sangat terlihat jahat bila aku merasa iri. Perubahan yang berdampak bagus
mengingat kami sebentar lagi akan mengahadapi ujian Nasional.
Yang membuatku salut adalah Sifa tak
pernah memandang apa yang menjadi tujuannya adalah suatu impian yang hanya akan
jadi impian. Impian itu harus diwujudkan, dan itulah yang dilakukan Sifa
sekarang. Berusaha! Kini Sifa sangat disiplin dalam belajar. Sedikitpun ia tak
pernah melalaikan kata belajar dalam kamus hidupnya sekarang. Suatu proses
meningkatkan potensi diri yang perlu diapresiasi. Hanya hidup bersama ayahnya
bukanlah mata air kesedihan yang membayang-bayanginya, tapi itu merupakan
sumber inspirasi terbesarnya untuk tetep berusaha. Ia percaya, dibalik semua
ini Tuhan telah merencanakan sesuatu yang indah tiada tara. Aku mengacungi
jempol untuk semangat Sifa itu. Dua jempol untuk sahabat ku ini!
Tak terasa Ujian Nasional telah kami
tapaki, kini tibalah hari pengumuman kelulusan itu. Penentuan untuk jutaan
siswa-siswi berbaju putih-biru diseluruh Indonesia. Bukan percaya diri berlebih
yang aku dan Sifa tunjukan, tapi optimis karena kita telah melakukan apa yang
terbaik yang bisa kami lakukan. Kami telah berperang mati-matian melawan
butiran-butiran soal-soal yang menjebak itu. Setelah berusaha, kami serahkan
semua kepada Tuhan Sang Pemilik Hidup.
Siapa yang tak bangga ? Siapa yang
tak bangga jika anaknya menjadi peringkat 1 Ujian Akhir Nasional se-Indonesia ?
Tentu semua orang tua akan bangga! Seperti halnya Om Aryo. Ya…. Sifalah orang
terberuntung dan terbahagia saat ini. Nilai Ujiannya hampir sempurna, hanya
Bahasa Inggris yang tidak mendapat nilai 10, yakni 9,80. Great Job girl! Congratulation! Semua orang tersenyum untuknya saat
ini. Tapi aku tahu, senyum Ibunyalah yang paling ia harapkan. Dan dengan
anugerah yang terindah ini, pasti sekarangpun Tante Fira sedang tersenyum untuk
Sifa di Surga.
Ini langkah awal Sifa menggapai
citanya. Menjadi peringkat 1 Ujian Nasional mengantarkannya mendapat beasiswa
dari Bapak Presiden Repiblik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Sifa berhasil
mengangkat nama Wonogiri terdengar sampai ke seluruh pelosok Indonesia. Rasifa
Bintang! Nama itu disebut bekali-kali di berbagai program berita di televisi.
Disanjung setiap orang dengan senyuman. Berkat tekatnya, berkat disiplinnya,
semua terjadi dengan indah. Tuhan memang menyayangi umatnya. Dibalik tangisnya,
kebahagian menanti untuk menyapanya.
Sejak kelulusan itu. Aku tidak
bertemu dengan Sifa lagi. Sebenarnya ia mengajakku bersekolah di SMA yang sama.
Tapi aku menolakknya. Bukan karena aku tak mampu bersaing dengannya. Tapi aku
ingin mengikuti jejaknya. Meraih asa menjadi nyata. Ya… aku melanjutkan
sekolahku ke Amerika. Sifa ingin menjadi dokter dan aku ingin menjadi model.
Dengan menjadi seorang dokter, ia mengabdi untuk masyarakat. Ia mengamalkan
kecerdasannya untuk menolong sesama. Dan aku tak ingin hanya menjadi model yang
menjual lekuk tubuhnya untuk sebuah jepretan kamera. Aku ingin mengembangkan
3B, Brand, Beauty, Behavior menjadi
suatu perpaduan yang saling mengisi.
Aku ingin mengabdi untuk Indonesia di bidangku, modeling. Aku ingin menjadi Puteri
Indonesia bahkan aku ingin menjadi Miss Univers dan mengharumkan nama bangsa.
Aku akan mengenalkan budaya Indonesia dan potensi alamnya, terutama Wonogiri.
seperti keindahan Pantai Nampu dan Air terjun Girimanik, lezatnya Nasi Tiwul dan Jangan Lombok (sayur cabai) dan sebagainya. Aku berharap, kelak
akan bertemu dengan Sifa lagi saat kami tengah menikmati cita-cita kami itu.
Bertemu sahabat baikku, bertemu guru yang mengajarkanku kehidupan. Rasifa
Bintang.
***
Setelah
selesai pemotretan. Aku memutuskan untuk menghirup udara segar Pantai Nampu
sejenak. Indah sekali! Deburan ombak pantai selatan menyegarkan indra pengelihatnku. Tapi sayang,
jadwal yang sudah menanti di Jakarta memaksaku tak bisa berlama-lama menikmati
indahnya keagungan Tuhan di ujung Wonogiri ini. Sebelum meninggalkan Surakarta,
aku harus kontrol kesehatan dulu di Rumah Sakit karena kondisiku sedikit
melemah.
Selesai kontrol, aku segera berniat
keluar dari Rumah Sakit. Tapi ada suara yang memanggilku. Suara yang kukenal.
Suara yang dulu sering kudengar. Suara yang sempat menemani hari-hariku.
“ Cantika !” aku menoleh. Siapa
? Siapa yang memanggilku ? Aku tak
melihat orang yang kukenal saat aku berbalik. Yang ku lihat hanya seseoang yang
sedang tersenyum kearahku. Siapa dia ? apa aku mengenalnya ? seorang dokter!
Dokter ? Itu mengingatkanku pada seseorang. Ia tersenyum saat aku masih
kebingungan. “Cantika Puteri Adams! Nama kamu bagus!” kalimat itu.
“Sifa….!!!” Aku berlari dan memeluk
wanita itu. Ya….. dokter Rasifa Bintang! Sahabatku!
“ Aku begitu merindukanmu Fa….!
Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Ini saat yang paling kutunggu” Tuturku. Aku
masih tak percaya. Speechless!
“Aku juga Tika….” Jawabnya singkat,
tapi penuh arti untukku.
Aku tak menyangka bisa bertemu Sifa
secepat ini. Rasanya aku tak ingin melepas pelukanku, agar tiada lagi
perpisahan antara aku dan Sifa. Agar kami beriringan dalam meraih cita. Setelah
kelulusan itu, aku lepas komunikasi dengannya. Bahkan aku tak mengetahui
keberadaannya hingga sekarang. Dan kini, melihatnya berdiri dihadapanku adalah
keajaiban yang telah kutunda. Bagaiman tidak ? Dialah orang yang kutabrak saat
aku hendak bertandang ke Wonogiri kemarin. Aku memang bodoh saat itu, tak
mengenali sahabatku sendiri. Tak perlu kusesali. Yang terpenting adalah
sekarang aku telah menatap wajah ayu Sifa lagi, tentunya dengan baju dokternya.
Sungguh hari ini aku sangat bahagia.
Sangat! Walau aku bertemu dengannya belum dengan title Miss Univers atau Puteri
Inodnesia, aku senang. Air bening hangat yang mengantri keluar di pelupuk
mataku rasanya tak bisa kubendung lagi. Tak apa! Tak selamanya tangisan adalah
kesedihan. Seperti apa yang kualami saat ini, tangis bahagia. Bertemu
sahabatku, motivator disiplinku.
~Selesai~
Biodata Penulis
Nama Lengkap : Betty
Elisa Oktaviani
Tempat Tanggal Lahir : Wonogiri 19 Oktober
1996
0 komentar:
Posting Komentar